http://langitselatan.com/2012/08/23/satelit-telkom-3-dan-kisah-planet-bercincin-besi/
Selasa 7 Agustus 2012 seharusnya menjadi salah satu hari bersejarah bagi Indonesia. Di hari itu satelit telekomunikasi Telkom-3, yang dipersiapkan oleh ISS Reshetnev (Russia)
bekerja sama dengan Thales Aleniaspace (Italia) dengan biaya Rp 1,9
trilyun dan bakal dioperasikan oleh PT Telkom, siap meluncur ke orbit
dari landasan peluncuran 81 di kompleks kosmodrom Baikonur yang
legendaris. Direncanakan untuk menempati orbit geostasioner pada
ketinggian 35.786 km di atas khatulistiwa pada garis bujur 118 BT di
atas pulau Sulawesi, satelit Telkom-3 bakal bekerja selama 15 tahun
penuh dengan mengandalkan 24 transponder C-band 36 MHz, 8 transponder
C-band 54 MHz dan 6 transponder Ku-band 54 MHz. Satelit ini tak hanya
mengemban rencana bisnis PT Telkom semata, namun juga berguna bagi
kepentingan strategis Indonesia khususnya sebagai salah satu tulang
punggung komunikasi militer, pemerintahan dan antar badan-badan usaha
milik negara.
Apa lacur, semua rencana indah itu menguap seiring gagalnya satelit
Telkom-3 menempati orbit yang dituju. Roket Proton-M memang bekerja
baik sehingga mulus meluncur dari Baikonur pada Selasa dinihari waktu
Indonesia tanpa masalah berarti. Roket tiga tingkat dengan tinggi total
53 meter, diameter terbesar 7,4 meter dan bobot total 713 ton yang
adalah kuda beban Russia menuju antariksa bekerja dengan baik
mengantarkan satelit Telkom-3 dan satelit Ekspress-MD2 yang menjadi
tandemnya ke orbit sirkular setinggi 173 km dengan inklinasi 50
derajat. Masalah justru terjadi pada roket pedorong Briz-M Phase III upperstage, yang di luar dugaan tidak bekerja dengan semestinya.
Gagal di Penyalaan Ketiga
Dengan posisi kosmodrom Baikonur di lintang tinggi (yakni di sekitar
garis 50 LU), satelit Telkom-3 tidak bisa dikirim langsung ke orbit
geostasioner kecuali melewati satu orbit parkir dan dua orbit transfer,
masing-masing dengan inklinasi 50 derajat. Karena itu, setelah tingkat
ketiga roket Proton-M menempatkan satelit Telkom-3 ke orbit parkir
sirkular setinggi 173 km, dibutuhkan roket pendorong guna menempatkan
satelit di orbit transfer pertama dan orbit transfer kedua. Dari orbit
transfer kedua, satelit Telkom-3 masih harus melakukan manuver untuk
menuju orbit geostasioner. Orbit transfer pertama dan kedua
masing-masing berbentuk lonjong, dengan orbit transfer kedua adalah
orbit transfer geosinkron karena memiliki apogee (titik terjauh dari
Bumi) yang sama dengan ketinggian orbit geostasioner, meski berbeda
inklinasinya.
Guna melakukan rangkaian manuver tersebut, satelit Telkom-3 dan
Ekspress-MD2 bakal didorong roket Briz-M Phase II upperstage yang
mengandung bahan bakar hipergolik berupa kombinasi dimetil hidrazin
asimetrik-nitrogen tetroksida (DHA-N2O4), yang bakal menyala sendiri
tatkala keduanya bersentuhan sehingga tidak memerlukan sistem
pengapian. Di tanki utama saja tersedia 5,2 ton DHA-N2O4 sementara di
tanki tambahan (auxilliary propellant tank/APT) terdapat 7 ton DHA-N2O4. Mesin roket Briz-M Phase III upperstage akan dinyalakan dan dimatikan secara beruntun selama lima kali berturut-turut, dengan total waktu penyalaan hingga 50 menit.
Faktanya, hanya dua tahap penyalaan yang berhasil dilakukan.
Penyalaan pertama berjalan lancar, demikian halnya penyalaan kedua yang
berlangsung pada 7 Agustus 2012 pukul 02:38 WIB selama 17 menit 55
detik. Seiring sukses ini, satelit Telkom-3 dan tandemnya lantas
menempati orbit transfer pertama yang memiliki perigee 266 km dan
apogee 5.014 km. Namun bencana datang dalam penyalaan tahap ketiga,
yang bertugas menggeser satelit Telkom-3 dan tandemnya menuju orbit
transfer kedua. Direncanakan menyala selama 18 menit 7 detik sejak
pukul 06:00 WIB, faktanya mesin roket Briz-M hanya menyala 7 detik.
Akibatnya satelit Telkom-3 dan tandemnya tidak beringsut jauh dari
orbitnya semula. Investigasi memperlihatkan matinya mesin roket Briz-M
secara mendadak ini merupakan persoalan fisis akibat mendadak
tersumbatnya salah satu saluran bahan bakar seperti diperlihatkan oleh
data tekanan yang mendadak anjlok.
Seiring kegagalan ini, sistem komputer di roket pendorong Briz-M
Phase II upperstage pun secara otomatis memerintahkan pelepasan satelit
Telkom-3 dan Ekspress-MD2 yang segera dipungkasi dengan dilepaskannya
tanki tambahan. Maka keempat benda tersebut (satelit Telkom-3, satelit
Ekspress-MD2, tanki tambahan dan roket Briz-M) pun melayang pada orbit
yang hampir serupa, yakni orbit lonjong dengan perigee 267 km dan
apogee 5.017 km pada inklinasi 49,9 derajat terhadap ekuator Bumi.
Kegagalan ini mengulangi kejadian serupa tepat setahun silam, saat
roket pendorong Briz-M juga bermasalah yang membuat satelit
Ekspress-AM4 pun gagal menempati orbit geostasioner. Secara
keseluruhan, dengan jumlah peluncuran hingga 377 kali sejak pertama
kali diperkenalkan pada dekade 1960-an, roket Proton memiliki tingkat
kegagalan akumulatif 11 % (parsial dan total). Khusus untuk varian
roket Proton-M yang mulai beroperasi sejak 2001, tingkat kegagalan
akumulatif itu mencapai 8 %.
Sampah Antariksa
Dengan menempati orbit lonjong pada perigee 267 km dan apogee 5.017
km, satelit Telkom-3 pada hakikatnya telah menjadi sampah antariksa
meskipun ia telah membuka panel suryanya, mampu berkomunikasi dengan
stasiun pengendali di Bumi dan seluruh instrumennya bekerja dengan
sempurna.
Permasalahannya, meskipun satelit Telkom-3 mampu bekerja namun ia
tidaklah berguna jika tidak menempati orbit geostasioner pada garis
bujur 118 BT. Padahal guna menuju ke orbit geostasioner, satelit
Telkom-3 membutuhkan dorongan mesin roket dengan jumlah bahan bakar
minimal 4,3 ton berupa kombinasi DHA-N2O4. Sementara satelit Telkom-3,
meskipun memiliki mesin roket dan bahan bakar internal sendiri, namun
jumlahnya jauh lebih kecil sehingga takkan sanggup menuju ke orbit
geostasioner.
Situasi serupa juga muncul jika satelit Telkom-3 hendak dialihkan
menuju orbit rendah untuk kemudian dijatuhkan kembali ke Bumi secara
terkendali. Sebuah satelit buatan akan jatuh saat menjumpai lapisan
udara yang lebih tebal mulai dari ketinggian 122 km di atas permukaan
Bumi. Guna menggeser satelit Telkom-3 ke ketinggian ini, dibutuhkan
dorongan mesin roket dengan jumlah bahan bakar minimal 2,5 ton dalam
bentuk kombinasi DHA-N2O4. Padahal satelit Telkom-3 juga tidak punya
bahan bakar sebanyak itu, karena bobot totalnya saja hanya 1,9 ton.
Dalam situasi demikian, satelit Telkom-3 sudah sulit untuk melakukan
manuver lagi kecuali menunggu saat-saat kejatuhannya ke Bumi. Karena
orbitnya memiliki perigee cukup rendah, satelit Telkom-3 pada
hakikatnya tetap mengalami gesekan dengan molekul-molekul udara
khususnya saat berada di sekitar perigee-nya. Sehingga kecepatannya pun
melambat yang berujung pada berubahnya profil orbit satelit, ditandai
dengan penurunan perigee/apogee, perubahan eksentrisitas dan
mengecilnya nilai ketinggian rata-rata. Perlambatan itu amat terasa
seiring telah membukanya panel surya satelit sejak 11 Agustus 2012,
sehingga luas penampang lintang satelit pun membesar dari 8,4 meter
persegi menjadi 9,1 meter persegi seperti diperlihatkan oleh radar US
Strategic Command. Sebagai akibatnya, ketinggian rata-rata satelit
Telkom-3 pun merosot sebesar 0,5 km per hari. Ekstrapolasi dengan basis
regresi linear menunjukkan satelit Telkom-3 bakal menyentuh ketinggian
122 km pada bulan Agustus 2026 mendatang. Namun simulasi dengan
software SatEvo pada situasi Matahari aktif seperti saat ini
memperlihatkan satelit Telkom-3 bisa saja jatuh dalam lima tahun ke
depan.
Planet Bercincin Besi
Status sampah antariksa yang diemban satelit Telkom-3 menambah
jumlah daftar benda-benda buatan manusia yang masih melayang-layang di
angkasa dekat Bumi. Saat fajar abad antariksa bersemi seiring
mengorbitnya Sputnik 1 pada 4 Oktober 1957, tak ada yang menyangka
kalau era baru ini bakal membawa efek samping yang dramatis hanya dalam
setengah abad kemudian. Kini tercatat lebih dari 16.000 keping sampah
antariksa dengan ukuran lebih besar dari 10 cm, belum terhitung puluhan
ribu keping lainnya yang lebih kecil. Bobot total keseluruhan sampah
antariksa ini diperkirakan setara dengan 62.000 ton. Mereka
melayang-layang pada ketinggian beragam, namun dalam hakikatnya
terkonsentrasi di orbit rendah dan medium, sehingga seakan-akan
membentuk sebuah cincin tersendiri yang mengelilingi Bumi. Karena itu
tak berlebihan jika sampah antariksa menyebabkan Bumi menjadi planet
kelima di tata surya yang memiliki sistem cincin, hanya saja berupa
cincin artifisial (buatan manusia).
Sejak era Sputnik-1, manusia telah meluncurkan lebih dari 30.000
roket ke antariksa. 902 diantaranya mengirim muatan berupa satelit ke
orbit, namun kini hanya sebagian kecil yang masih aktif. Sebagian besar
satelit yang pernah diluncurkan telah menjadi sampah antariksa, dengan
yang tertua adalah bangkai satelit Vanguard 1 (diluncurkan tahun 1958).
Namun proporsi terbesar sampah antariksa dimiliki oleh bagian-bagian
roket, khususnya tingkat ketiga, keempat atau kelima. Misalnya roket
IUS (Inertial Upper Stage) yang berbahan bakar padat dan
digunakan secara rutin dalam dalam peluncuran satelit dari pesawat
ulang alik. Demikian pula roket PAM (Payload Assist Module) yang berbahan bakar cair dan merupakan upperstage
dari roket Delta/Atlas maupun Ariane. Termasuk juga roket tingkat 3
yang terpaksa dihancurkan bersama muatannya akibat kegagalan sistemik.
Sampah ini berupa mesin, tanki bahan bakar, tanki helium, pipa atau
pecahannya serta serpihan-serpihan kulit dan cat. Peringkat kedua
diduduki oleh sampah antariksa produk ujicoba sistem senjata
antisatelit, baik dalam bentuk satelit yang dihancurkan oleh satelit
penabrak maupun rudal. Eks Uni Soviet menyumbangkan saham terbesar
terhadap sampah antariksa jenis ini, menyusul kemudian AS dan
belakangan Cina.
Meski setiap keping sampah antariksa bakal meluruh dari orbitnya
akibat gesekan dengan molekul-molekul udara disekitarnya di bawah
pengaruh aktivitas Matahari dalam beberapa tahun hingga dekade ke
depan, eksistensinya menjadikan antariksa kian berbahaya. Sebagai
ilustrasi, 1 kg sampah antariksa yang melesat secepat 10 km/detik mampu
meremukkan satelit/wahana antariksa seberat 1 ton yang sedang berada di
orbitnya. Seiring kian tumbuhnya industri penerbangan antariksa ke
depan, pertumbuhan sampah antariksa pun bakal kian membumbung tinggi.
Ini menciptakan sindrom Kessler, saat penambahan sampah antariksa
melampaui kemampuan alami atmosfer Bumi guna meluruhkannya sehingga
jumlahnya kian lama kian meningkat.
Jika tak ada langkah signifikan dan rekayasa manusia, dalam seabad
ke depan jumlah sampah antariksa bisa membengkak tak terkendali.
Sebagai dampaknya penerbangan antariksa masa depan akan menghadapi
resiko tabrakan dengan sampah antariksa yang kian meningkat. Dalam satu
dekade ke depan, resiko itu akan meningkat 50 % sedangkan dalam
setengah abad ke depan diduga bakal melonjak hingga empat kali lipat.
Sekeping logam 10 cm, satu dari 1.000 keping seukuran lebih dari 10 cm
yang dihasilkan dari tabrakan satelit Cosmos 2251 dan Iridium 33 pada
2009 silam, melesat dalam jarak yang tergolong berbahaya bagi ISS pada
Januari 2012 lalu. Akibatnya roket modul Zvezda pun harus dinyalakan
selama 54 detik guna mendorong ISS ke ketinggian obit rata-rata 391,4
km atau lebih tinggi 1,5 km dari semula. Penyalaan ini merupakan
penyalaan tak terjadwal yang ke-13 sejak 1998 dan semuanya ditujukan
guna menghindari kepingan sampah antariksa.
Peluruhan sampah antariksa pun mendatangkan masalah tersendiri
seiring munculnya resiko jatuh di kawasan yang berpopulasi manusia.
dalam setahun terakhir kita menyaksikan betapa problem sampah antariksa
demikian terasa seiring jatuhnya sejumlah satelit besar. Diawali oleh
UARS (Upper Atmospheric Research Satellite), satelit uzur yang
berbobot 6,5 ton dan jatuh pada 23 September 2011 di Samudera Pasifik.
Sebulan kemudian satelit uzur lainnya yakni ROSAT milik Jerman dengan
bobot 2,4 ton menyusul jatuh, tepatnya pada 23 Oktober 2011 di kawasan
hutan lebat Thailand utara. Menyusul kemudian Phobos-Grunt, wahana
antariksa jumbo dengan bobot total 13,5 ton yang gagal terbang ke Mars
akibat gangguan perangkat lunak dan menjadi sampah antariksa terberat
dalam satu dasawarsa terakhir setelah stasiun antariksa Mir, jatuh pada
15 Januari 2012 di Samudera Pasifik bagian timur. Harap dicatat,
ketiganya jatuh tanpa bisa dikendalikan posisi kejatuhannya oleh
stasiun-stasiun pengendali di Bumi seiring terbatasnya bahan bakar dan
tiadanya mekanisme penggandeng untuk roket tambahan.
Selasa, 04 September 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar